Senin, 18 Juli 2011

semua cerita tentang kita

Assalaamu'alaikum Wr.Wb
                       Hallo temana teman  kami dari Universitas ESA UNGGUL,Fakultas ILMU KOMUNIKASI, Jurusan : BROADCASTING. Perkenalkan nama saya Nanda Amalia 2009-58-088,dan teman saya Firda Putri Ramadhana 2009-58-088, kami berdua akhirnya bisa juga membuat blog Tentang PERKEMBANGAN TEKNOLOGI KOMUNIKASI yang di tugaskan oleh bapak dosen pembimbing kami DANI VARDIANSYAH. berkat beliau kami berdua akhirnya bisa menyelesaikan tugas blog , dan dapat mengisi artikel artikel seputar PERKEMBANGAN TEKNOLOGI KOMUNIKASI . kami berharap blog kami yang pada dasar awala hanya sebagai tugas dari mata kuliah bapak DANI VARDIANSYAH dapat pula berguna bagai rekan rekan mahasiswa yang membutuhkan informasi mengenai PERKEMBANGAN TEKNOLOGI KOMUNIKASI. karena kami sebaik mungkin menyajikan informasi informasi yang akurat dan terbaru.

Terimakasih kami ucapkan pada Allah SWT  berkat dia lah kami di berkikan ilmu yang bermanfaat,serta pada orang-orang yang telah membantu kami dalam segi apapun, Terimikasih pada orang tua kami yang memberikan fasilitas untuk kami belajar, dan tidak lupa kami ucapakan
Trimakasih pada bapak DANI VERDIANSYAH yang mampu membimbing kami berdua untuk dapat menggunakan media elektronik seperti blog ini. mungkin jika kami tidak terpaksa oleh tugas kami berdua tidak akan bisa menggunakan fasilitas ini,



Trimakasihh teman teman silahkan menikmati hasil kumpulan tugas kita berdua semoga bermanfat buat kita semua

Minggu, 17 Juli 2011

EKOLOGI MEDIA

Media Ecology Menurut Marshall McLuhan
Berarti mengatur berbagai media untuk saling membantu sehingga mereka tidak akan membatalkan satu sama lain, untuk menopang satu medium dengan yang lain. Anda mungkin mengatakan, misalnya, radio yang merupakan bantuan besar untuk melek huruf dari televisi, tetapi televisi mungkin bantuan yang sangat menakjubkan untuk mengajar bahasa.. Dan sehingga Anda dapat melakukan beberapa hal pada beberapa media yang tidak dapat Anda lakukan pada orang lain..Dan, karena itu, jika Anda menonton seluruh bidang, Anda dapat mencegah pemborosan yang datang oleh salah satu membatalkan keluar yang lain.

Marshall McLuhan, pernah mengatakan bahwa the medium is the mass-age. Media adalah era massa. Maksudnya adalah bahwa saat ini kita hidup di era yang unik dalam sejarah peradaban manusia, yaitu era media massa. Terutama lagi, pada era media elektronik seperti sekarang ini. Media pada hakikatnya telah benar-benar mempengaruhi cara berpikir, merasakan, dan bertingkah laku manusia itu sendiri. Kita saat ini berada pada era revolusi, yaitu revolusi masyarakat menjadi massa, oleh karena kehadiran media massa tadi.

GLOBAL VILLAGE
"Kau tidak lagi harus berada di mana saja untuk melakukan semuanya." McLuhan
Penemuan cetak oleh Gutenberg menciptakan pembelajaran mandiri terpisah dari 'suku' serta gagasan media massa. TV,. TV, perkembangan yang paling berpengaruh media elektronik, memiliki orang-orang menghubungkan kembali dengan instan dan semua-di-sekali bentuk sirkulasi informasi sebagai manusia pernah mengalami dalam budaya kesukuan. "Desa global" McLuhan membayangkan teori media elektronik sebagai memiliki kemampuan untuk menyatukan dan 'retribalize' kemanusiaan. Ini lebih sepenuhnya terwujud dengan munculnya Internet di mana cetak dan media TV digabungkan ke dalam satu format.

Hot vs Keren Media
McLuhan mengembangkan gagasan media panas dan dingin Media panas, seperti radio, buku, dan kuliah memerlukan partisipasi yang sangat sedikit dari penonton. Hot media yang berkonsentrasi pada satu organ sensorik pada suatu waktu (Telinga untuk mendengarkan radio atau mata untuk membaca buku, misalnya.). Jenis media yang memberikan penonton semua informasi yang diperlukan untuk memahami konten yang disajikan tanpa memerlukan penafsiran penonton dari pesan / konten. [1] [1]
Media dingin membutuhkan penonton untuk mengisi kesenjangan informasi karena mereka mengalami multiindrawi media seperti TV atau satu-satu percakapan. Even as the Bahkan sebagai penampil diperlukan untuk mental berpartisipasi, ironisnya, McLuhan percaya bahwa penonton menjadi pasif.
Kelahiran remote control dan saluran berselancar hanya bisa datang dari sensorik TV partisipatif belum pasif pelatihan kembali dari sistem saraf pusat.. Keren budaya media yang berkembang pada pengulangan dan dengan cara ini menjadi mitos di alam. McLuhan menunjukkan pertumbuhan dalam agama-agama kultus sebagai contoh ini berbasis reorientasi mitos dalam budaya elektronik.
Media sebagai Ekstensi Sensori Tubuh
Ini adalah klaim bahwa setiap bentuk media merupakan perpanjangan dari indra dan yang menggunakan fokus organ sensorik menyebabkan individu ketidakseimbangan organisme. Sebuah mobil adalah perpanjangan kaki manusia misalnya dan pakaian merupakan perpanjangan dari kulit. McLuhan menegaskan bahwa ketika kita mengembangkan budaya elektronik, sistem saraf kita berada di luar tubuh kita. Pengiklan memiliki kemampuan untuk memanipulasi setiap emosi melalui penggunaan media elektronik kita interect dengan dan selalu dikelilingi oleh.Ide-ide ini dikembangkan lebih lanjut dalam buku 1967 McLuhan,

Dalam rangka untuk memahami dampak dari lingkungan simbolis, McLuhan membagi sejarah menjadi empat periode:

1. Usia Suku
Usia suku adalah usia akustik menurut McLuhan. Indra sentuhan, rasa, dan bau yang sangat lebih dikembangkan maka kemampuan untuk melihat. Hearing is believing, is the key component in understanding the period. Mendengar adalah percaya, merupakan komponen kunci dalam memahami periode. McLuhan. McLuhan juga menganggap bahwa "primitif" orang-orang menjalani kehidupan lebih besar dan lebih rumit, karena telinga mempromosikan rasa besar masyarakat di era suku. Hal ini juga menyebabkan pemahaman yang jauh lebih besar dari dunia di sekitar mereka.. Mendengar lebih berharga daripada melihat untuk alasan utama yang memungkinkan individu untuk menjadi lebih sadar akan segala sesuatu yang terjadi di sekitar.. Ini juga merupakan usia dimana individu bukan dari suatu kepentingan dan tindakan mendengarkan yang lain adalah tindakan menyatukan. Ini menjadi tindakan menyatukan karena fakta setiap orang mendengar apa yang dikatakan pada waktu yang sama.. Berbicara kata dalam kontradiksi dengan membaca sebuah kata adalah cara kata yang diucapkan dilihat sebagai hidup dan instan.. Dengan individu keluar lewat pesan atau kata sekitar, pesan akan menjadi mati dan tidak lagi diturunkan melalui individu..Pada dasarnya, tidak lagi menjaga cerita atau kisah hidup.

2. Usia Keaksaran
Usia keaksaraan adalah usia di mana detasemen swasta pertama yang benar-benar dapat dilihat sebagai penemuan alfabet dibuat dan mata menjadi reseptor rasa yang dominan (2000-1500 SM). McLuhan percaya bahwa matematika, ilmu pengetahuan, dan filsafat telah muncul di Yunani dari penemuan alfabet. Dia juga percaya bahwa kata-kata tertulis, seperti kata yang diucapkan kehilangan rasa lengkap dari kedekatan dan rasa yang hidup. Dalam kemampuan membaca kata-kata dibandingkan dengan kata-kata mendengar, membaca kata-kata memungkinkan anggota kelompok untuk mengkonversi ke individur. Marshall McLuhan percaya bahwa keaksaraan memicu saklar telinga-ke-mata bahwa dalam mengembalikan mengasingkan pembaca.. Kedekatan sekarang dipandang kurang penting.
3. Usia Cetak
Usia cetak (1450) adalah periode berikutnya.. Usia cetak masih menekankan mata pada reseptor sensitory utama. I. Bukan hanya mampu membuat satu salinan dari dokumen pada suatu waktu, penemuan mesin cetak mampu menghasilkan jumlah massa produk duplikat. Hal ini membuat komunikasi luas. Mesin cetak, McLuhan dipandang sebagai pelopor revolusi industri.. Dia juga melihat periode ini, seperti apa yang memicu munculnya Nasionalisme
Dengan penemuan telegraf (1850), kata yang tercetak tidak lagi dikonsumsi kekuasaan, namun kehilangan itu.. Telegraf yang benar-benar memicu kita ke zaman akhir, era elektronik. Ini menciptakan individu menjadi sebuah "desa global". Dengan ide komunikasi instan yang tersedia, kita menanggapi kembali dalam kustom pra-abjad.. Melalui transisi ini, kita lebih mengandalkan suara, dan sentuhan, bukan dari penglihatan.. Dalam bisnis setiap orang desa global, menjadi bisnis orang lain.. Media elektronik dan penemuan seperti radio, telepon, PDA, internet, komputer, mesin fotokopi, telepon selular, video game, VCR, DVD, faks, fonograf, film proyektor dll ... semua perangkat yang telah dikonsumsi dan membuat era elektronik apa sekarang ini.. Usia elektronik membawa kita berhubungan dengan semua orang, di mana-mana, secara instan.. Privasi sekarang dilihat sebagai sebuah kemewahan atau bahkan tidak ada karena semua kemajuan teknologi yang telah terjadi.
4. Usia Digital
Ide usia digital adalah periode kelima potensial setelah era elektronik. Mengambil munculnya desa global ke dalam rewiring itu. Era digital sepenuhnya elektronik.. McLuhan dilihat bahwa kita sangat baik mungkin memiliki munculnya mentalitas perang suku..Keuntungan desentralisasi kekuasaan dan kontrol adalah keuntungan orang banyak melihat terjadi dari tribalization perbedaan.
Marshall McLuhan Empat Hukum Media
McLuhan , sosiolog media / guru yang menciptakan istilah 'Global Village' istilah, dikemukakan Empat Hukum Media yang menangkap dialektika veritably spiral - sebuah kuno, yang tidak pernah berakhir, sebagainya-dan-kembali cyle Sintesis Antitesis-Sintesis-Tesis- - teknologi media dan kehidupan sosial tersegmentasi.
1. EXTENSION/AMPLIFICATION: Ketika mereka datang ke depan, teknologi media baru memperluas jangkauan tertentu yang sudah ada kapasitas Pikiran dan aspek Tubuh.

2. REVERSAL/'COUNTER-DIALECTIC: dialektika': Semua revolusi media yang mewujudkan pemicu atau potensi untuk gerakan sebaliknya (kontra-dialektika), yaitu, untuk langkah-kembali dari keuntungan yang mereka wakili - untuk reset ke masa lalu.
3. RETRIEVAL/RECURRENCE: media baru-diciptakan cenderung untuk menyadarkan indra, keterampilan dan / atau kepekaan yang urutan teknologi pengungsi telah memiliki tumpul, 'ditekan' atau dikaburkan.
4. OBSOLESCENCE:. Usang: media baru dalam efek coopt mode lebih tua tertentu komunikasi bahkan ketika mereka menyatakan mereka 'usang' dan membuat mereka tidak efektif dan mereka melakukannya karena yang terakhir tidak membiarkan diri mereka hilang sepenuhnya, bahkan sebagai sesuatu yang sama sekali kesan baru berakar di lanskap.

Jumat, 15 Juli 2011

MEDIA TRADISIONAL VS MEDIA MODERN

Media massa
Media massa  atau Pers adalah suatu istilah yang mulai dipergunakan pada tahun 1920-an untuk mengistilahkan jenis media yang secara khusus didesain untuk mencapai masyarakat yang sangat luas. Dalam pembicaraan sehari-hari, istilah ini sering disingkat menjadi media.
Masyarakat dengan tingkat ekonomi rendah memiliki ketergantungan dan kebutuhan terhadap media massa yang lebih tinggi daripada masyarakat dengan tingkat ekonomi tinggi karena pilihan mereka yang terbatas. Masyarakat dengan tingkat ekonomi lebih tinggi memiliki lebih banyak pilihan dan akses banyak media massa, termasuk bertanya langsung pada sumber atau ahli dibandingkan mengandalkan informasi yang mereka dapat dari media massa tertentu.

Jenis-jenis media massa

Media massa tradisional

Media massa tradisional adalah media massa dengan otoritas dan memiliki organisasi yang jelas sebagai media massa. Secara tradisional media massa digolongkan sebagai berikut: surat kabar, majalah, radio, televisi, film (layar lebar). Dalam jenis media ini terdapat ciri-ciri seperti:
1.  Informasi dari lingkungan diseleksi, diterjemahkan dan didistribusikan
2.  Media massa menjadi perantara dan mengirim informasinya melalui saluran tertentu.
3.  Penerima pesan tidak pasif dan merupakan bagian dari masyarakat dan menyeleksi informasi yang mereka terima.
4.  Interaksi antara sumber berita dan penerima sedikit.

 Media massa modern

Seiring dengan berjalannya waktu dan perkembangan teknologi dan sosial budaya, telah berkembang media-media lain yang kemudian dikelompokkan ke dalam media massa seperti internet dan telepon selular. Dalam jenis media ini terdapat ciri-ciri seperti:
1.  Sumber dapat mentransmisikan pesannya kepada banyak penerima (melalui SMS atau internet misalnya)
2.  Isi pesan tidak hanya disediakan oleh lembaga atau organisasi namun juga oleh individual
3.  Tidak ada perantara, interaksi terjadi pada individu
4.  Komunikasi mengalir (berlangsung) ke dalam
5.  Penerima yang menentukan waktu interaksi

 Pengaruh media massa pada budaya

Menurut Karl Erik Rosengren pengaruh media cukup kompleks, dampak bisa dilihat dari:
1.  skala kecil (individu) dan luas (masyarakat)
2.  kecepatannya, yaitu cepat (dalam hitungan jam dan hari) dan lambat (puluhan tahun/ abad) dampak itu terjadi.
Pengaruh media bisa ditelusuri dari fungsi komunikasi massa, Harold Laswell pada artikel klasiknya tahun 1948 mengemukakan model sederhana yang sering dikutip untuk model komunikasi hingga sekarang, yaitu :
1.  Siapa (who)
2.  Pesannya apa (says what)
3.  Saluran yang digunakan (in what channel)
4.  Kepada siapa (to whom)
5.  Apa dampaknya (with what effect)
Model ini adalah garis besar dari elemen-elemen dasar komunikasi. Dari model tersebut, Laswell mengidentifikasi tiga dari keempat fungsi media.

 Fungsi-fungsi media massa pada budaya

1.  Fungsi pengawasan (surveillance), penyediaan informasi tentang lingkungan.
2.  Fungsi penghubungan (correlation), dimana terjadi penyajian pilihan solusi untuk suatu masalah.
3.  Fungsi pentransferan budaya (transmission), adanya sosialisasi dan pendidikan.
4.  Fungsi hiburan (entertainment) yang diperkenalkan oleh Charles Wright yang mengembangkan model Laswell dengan memperkenalkan model dua belas kategori dan daftar fungsi. Pada model ini Charles Wright menambahkan fungsi hiburan. Wright juga membedakan antara fungsi positif (fungsi) dan fungsi negatif (disfungsi).

 Pengaruh media massa pada pribadi

Secara perlahan-lahan namun efektif, media membentuk pandangan pemirsanya terhadap bagaimana seseorang melihat pribadinya dan bagaimana seseorang seharusnya berhubungan dengan dunia sehari-hari [1]
•   Pertama, media memperlihatkan pada pemirsanya bagaimana standar hidup layak bagi seorang manusia, dari sini pemirsa menilai apakah lingkungan mereka sudah layak, atau apakah ia telah memenuhi standar itu - dan gambaran ini banyak dipengaruhi dari apa yang pemirsa lihat dari media.
•   Kedua, penawaran-penawaran yang dilakukan oleh media bisa jadi memengaruhi apa yang pemirsanya inginkan, sebagai contoh media mengilustrasikan kehidupan keluarga ideal, dan pemirsanya mulai membandingkan dan membicarakan kehidupan keluarga tersebut, dimana kehidupan keluarga ilustrasi itu terlihat begitu sempurna sehingga kesalahan mereka menjadi menu pembicaraan sehari-hari pemirsanya, atau mereka mulai menertawakan prilaku tokoh yang aneh dan hal-hal kecil yang terjadi pada tokoh tersebut.
•   Ketiga, media visual dapat memenuhi kebutuhan pemirsanya akan kepribadian yang lebih baik, pintar, cantik/ tampan, dan kuat. Contohnya anak-anak kecil dengan cepat mengidentifikasikan mereka sebagai penyihir seperti Harry Potter, atau putri raja seperti tokoh Disney. Bagi pemirsa dewasa, proses pengidolaaan ini terjadi dengan lebih halus, mungkin remaja ABG akan meniru gaya bicara idola mereka, meniru cara mereka berpakaian. Sementara untuk orang dewasa mereka mengkomunikasikan gambar yang mereka lihat dengan gambaran yang mereka inginkan untuk mereka secara lebih halus. Mungkin saat kita menyisir rambut kita dengan cara tertentu kita melihat diri kita mirip "gaya rambut lupus", atau menggunakan kacamata a'la "Catatan si Boy".
•   Keempat, bagi remaja dan kaum muda, mereka tidak hanya berhenti sebagai penonton atau pendengar, mereka juga menjadi "penentu", dimana mereka menentukan arah media populer saat mereka berekspresi dan mengemukakan pendapatnya.
Penawaran yang dilakukan oleh media bisa jadi mendukung pemirsanya menjadi lebih baik atau mengempiskan kepercayaan dirinya. Media bisa membuat pemirsanya merasa senang akan diri mereka, merasa cukup, atau merasa rendah dari yang lain .


 Pengertian Media Tradisional
Dongeng adalah salah satu media tradisional yang pernah popular di Indonesia. Pada masa silam, kesempatan untuk mendengarkan dongeng tersebut selalu ada, karena merupakan bagian dari kebudayaan lisan di Indonesia. Bagi para ibu mendongeng merupakan cara berkomunikasi dengan putra-putri mereka, terutama untuk menanamkan nilai-nilai sosial, yang diturunkan dari generasi ke generasi.
Di berbagai daerah di Indonesia, media komunikasi tradisional tampil dalam berbagai bentuk dan sifat, sejalan dengan variasi kebudayaan yang ada di daerah-daerah itu. Misalnya, tudung sipulung (duduk bersama), ma’bulo sibatang (kumpul bersama dalam sebuah pondok bambu) di Sulawesi Selatan (Abdul Muis, 1984) dan selapanan (peringatan pada hari ke-35 kelahiran) di Jawa Tengah, boleh dikemukan sebagai beberapa contoh media tradisional di kedua daerah ini. Di samping itu, boleh juga ditunjukkan sebuah instrumen tradisional seperti kentongan yang masih banyak digunakan di Jawa. Instrumen ini dapat digunakan untuk mengkomunikasikan pesan-pesan yang mengandung makna yang berbeda, seperti adanya kematian, kecelakaan, kebakaran, pencurian dan sebagainya, kepada seluruh warga masyarakat desa, jika ia dibunyikan dengan irama-irama tertentu.
Media tradisional dikenal juga sebagai media rakyat. Dalam pengertian yang lebih sempit, media ini sering juga disebut sebagai kesenian rakyat. Dalam hubungan ini Coseteng dan Nemenzo (dalam Jahi, 1988) mendefinisikan media tradisional sebagai bentuk-bentuk verbal, gerakan, lisan dan visual yang dikenal atau diakrabi rakyat, diterima oleh mereka, dan diperdengarkan atau dipertunjukkan oleh dan/atau untuk mereka dengan maksud menghibur, memaklumkan, menjelaskan, mengajar, dan mendidik.
Sejalan dengan definisi ini, maka media rakyat tampil dalam bentuk nyayian rakyat, tarian rakyat, musik instrumental rakyat, drama rakyat, pidato rakyat- yaitu semua kesenian rakyat apakah berupa produk sastra, visual ataupun pertunjukkan- yang diteruskan dari generasi ke generasi (Clavel dalam Jahi, 1988).
Ragam Media Tradisional
Nurudin (2004) mengatakan bahwa membicarakan media tradisional tidak bisa dipisahkan dari seni tradisional, yakni suatu bentuk kesenian yang digali dari cerita-cerita rakyat dengan memakai media tradisional. Media tradisional sering disebut sebagai bentuk folklor. Bentuk-bentuk folklor tersebut antara lain:
a. Cerita prosa rakyat (mite, legenda, dongeng);
b. Ungkapan rakyat (peribahasa, pemeo, pepatah);
c. Puisi rakyat;
d. Nyayian rakyat;
e. Teater rakyat;
f. Gerak isyarat (memicingkan mata tanda cinta);
g. Alat pengingat (mengirim sisrih berarti meminang); dan
h. Alat bunyi-bunyian (kentongan, gong, bedug dan lain-lain).
Ditinjau dari aktualitasinya, ada seni tradisional seperti wayang purwa, wayang golek, ludruk, kethoprak, dan sebagainya. Saat ini media tradisional telah mengalami transformasi dengan media massa modern. Dengan kata lain, ia tidak lagi dimunculkan secra apa adanya, melainkan sudah masuk ke media televisi (transformasi) dengan segala penyesuaiannya. Misal acara seni tradisional wayang kulit yang disiarkan oleh oleh suatu televisi swasta.
Fungsi Media Tradisional
William Boscon (dalam Nurudin, 2004) mengemukakan fungsi-fungsi pokok folklor sebagai media tradisional adalah sebagai berikut:
1.  Sebagai sistem proyeksi. Folklor menjadi proyeksi angan-angan atau impian rakyat jelata, atau sebagai alat pemuasan impian (wish fulfilment) masyarakat yang termanifestasikan dalam bentuk stereotipe dongeng. Contohnya adalah cerita Bawang Merah dan Bawang Putih, cerita ini hanya rekaan tentang angan-angan seorang gadis desa yang jujur, lugu, menerima apa adanya meskipun diperlakukan buruk oleh saudara dan ibu tirinya, namun pada akhirnya berhasil menikah dengan seorang raja, cerita ini mendidik masyarakat bahwa jika orang itu jujur, baik pada orang lain dan sabar akan mendapat imbalan yang layak.
2.  Sebagai penguat adat. Cerita Nyi Roro Kidul di daerah Yogyakarta dapat menguatkan adat (bahkan kekuasaan) raja Mataram. Seseorang harus dihormati karena mempunyai kekuatan luar biasa yang ditunjukkan dari kemapuannya memperistri ”makhluk halus”. Rakyat tidak boleh menentang raja, sebaliknya rasa hormat rakyat pada pemimpinnya harus dipelihara. Cerita ini masih diyakini masyarakat, terlihat ketika masyarakat terlibat upacara labuhan (sesaji kepada makhluk halus) di Pantai Parang Kusumo.
3.  Sebagai alat pendidik. Contohnya adalah cerita Bawang Merah dan Bawang Putih, cerita ini mendidik masyarakat bahwa jika orang itu jujur, baik pada orang lain dan sabar akan mendapat imbalan yang layak.
4.  Sebagai alat paksaan dan pengendalian sosial agar norma-norma masyarakat dipatuhi. Cerita ”katak yang congkak” dapat dimaknai sebai alat pemaksa dan pengendalian sosial terhadap norma dan nilai masyarakat. Cerita ini menyindir kepada orang yang banyak bicara namun sedikit kerja.
Sifat kerakyatan bentuk kesenian ini menunjukkan bahwa ia berakar pada kebudayaan rakyat yang hidup di lingkungannya. Pertunjukkan-pertunjukkan semacam ini biasanya sangat komunikatif, sehingga mudah dipahami oleh masyarakat pedesaan. Dalam penyajiannya, pertunjukkan iniini biasanya diiringi oleh musik daerah setempat (Direktorat Penerangan Rakyat, dalam Jahi, 1988).
Ranganath (1976), menuturkan bahwa media tradisional itu akrab dengan massa khalayak, kaya akan variasi, dengan segera tersedia, dan biayanya rendah. Ia disenangi baik pria ataupun wanita dari berbagai kelompok umur. Secara tradisional media ini dikenal sebagai pembawa tema. Disamping itu, ia memiliki potensi yang besar bagi komunikasi persuasif, komunikasi tatap muka, dan umpan balik yang segera. Ranganath juga memepercayai bahwa media tradisional dapat membawa pesan-pesan modern.
Eapen (dalam Jahi, 1988) menyatakan bahwa media ini secara komparatif murah. Ia tidak perlu diimpor, karena milik komunitas. Di samping itu, media ini tidak akan menimbulkan ancaman kolonialisme kebudayaan dan dominasi ideologi asing. Terlebih lagi, kredibilitas lebih besar karana ia mempertunjukkan kebolehan orang-orang setempat dan membawa pesan-pesan lokal, yang tidak berasal dari pemerintah pusat. Media rakyat ini bersifat egaliter, sehingga dapat menyalurkan pesan-pesan kerakyatan dengan lebih baik daripada surat kabar yang bersifat elit, film, radio, dan televisi yang ada sekarang ini.
Sifat-sifat umum media tradisional ini, antara lain mudah diterima, relevan dengan budaya yang ada, menghibur, menggunakan bahasa lokal, memiliki unsur legitimasi, fleksibel, memiliki kemampuan untuk mengulangi pesan yang dibawanya, komunikasi dua arah, dan sebagainya. Disssanayake (dalam Jahi,1988) menambahkan bahwa media tradisional menggunakan ungkapan-ungkapan dan simbol-simbol yang mudah dipahami oleh rakyat, dan mencapai sebagaian dari populasi yang berada di luar jangkauan pengaruh media massa, dan yang menuntut partisipasi aktif dalam proses komunikasi.

Keberadaan Media Tradisional
Pada masa silam, media tradisional pernah menjadi perangkat komunikasi sosial yang penting. Kinipenampilannya dalam masyarakat telah surut. Di Filipina, Coseteng dan Nemenzo (dalam Jahi, 1988) melaporkan bahwa surutnya penampilan media ini antara lain karena:
1. Diperkenalkannya media massa dan media hiburan modern seperti media cetak, bioskop, radio, dan televisi.
2. Penggunaan bahasa Inggris di sekolah-sekolah, yang mengakibatkan berkurangnya penggunaan dan penguasaan bahasa pribumi, khususnya Tagalog.
3. Semakin berkurangnya jumlah orang-orang dari generasi terdahulu yang menaruh minat pada pengembangan media tradisional ini, dan
4. Berubahnya selera generasi muda.
Di Indonesia, situasinya kurang lebih sama. Misalnya, beberapa perkumpulan sandiwara rakyat yang masih hidup di Jawa Tengah dan Jawa Timur, yang biasanya mengadakan pertunjukkan keliling di desa-desa, ternyata kurang mendapat penonton, setelah televisi masuk ke desa. Hal ini, mencerminkan bahwa persaingan media tradisional dan media modern menjadi semakin tidak berimbang, terlebih lagi setelah masyarakat desa mulai mengenal media hiburan modern seperti kaset video.
Pertunjukkan rakyat yang kebanyakan menggunakan bahasa daerah mulai ditinggalkan orang, terutama setelah banyak warga masyarakat menguasai bahasa Indonesia. Di pihak lain, jumlah para seniman yang menciptakan dan memerankan pertunjukkan-pertunjukkan tradisional itupun semakin berkurang. Generasi baru nampaknya kurang berminat untuk melibatkan diri dalam pengembangan pertunjukkan tradisional yang semakin kurang mendapat sambutan khalayak ini.
Surutnya media tradisional ini dicerminkan pula oleh surutnya perhatian para peneliti komunikasi pada media tersebut. Schramm dan Robert (dalam Ragnarath, 1976) melaporkan bahwa antara tahun 1954 dan 1970 lebih banyak hasil penelitian komunikasi yang diterbitkan dari masa sebelumnya. Akan tetapi dalam laporan-laporan penelitian itu tidak terdapat media tradisional. Berkurangnya minat masyarakat pada media tradisional ini ada hubungannya dengan pola pembangunan yang dianut oleh negara dunia ketiga pada waktu itu. Ideologi modernisasi yang populer saat itu, mendorong negara-negara tersebut untuk mengikuti juga pola komunikasi yang dianjurkan. Dalam periode itu kita menyaksikan bahwa tradisi lisan mulai digantikan oleh media yang berdasarkan teknologi. Sebagai akibatnya, komunikasi menjadi linear dan satu arah.
Untuk mempercepat laju pembangunan, banyak negara yang sedang berkembang di dunia ketiga menginvestasikan dana secara besdar-besaran pada pembangunan jaringan televisi, dan akhir-akhirnya pada komunikasi satelit (Wang dan Dissanayake, dalam Jahi, 1988). Mereka lupa bahwa investasi besar pada teknologi komunikasi itu, jika tidak diiringi oleh investasi yang cukup pada perangkat lunaknya, akan menimbulkan masalah serius di kemudian hari. Kekuarangan ini menjadi kenyataan tidak lama setelah mereka mulai mengoperasikan perangkat keras media besar itu. Mereka segera mengalami kekuarangan program yang sesuai dengan dengan situasi dan kebutuhan domestik, dan juga mengalami kesulitan besar dalam pembuatan program-program lokal. Kesulitan ini timbul karena terbatasnya sumber daya manusiawi yang terlatih untuk membuat program-program lokal yang kualitasnya dapat diterima masyarakat dan besarnya biaya produksi.
Situasi ini mengakibatkan negara-negara dunia ketiga itu mengambil jalan pintas dengan jalan mengimpor banyak program berita maupun hiburan dari negara-negara maju. Keluhan yang timbul kemudian ialah bahwa isi program-program tersebut tidak sesuai dengan perkembangan dan kebutuhan domestik. Kecenderungan ini tentunya sangat berbahaya, karena dapat mengikis kebudayaan asli dan merangsang tumbuhnya konsumerisme yang kurang sesuai dengan perkembang di negeri itu.
Perhatian para peneliti komunikasi pada media tradisional, bangkit kembali setelah menyaksikan kegagalan media massa, dan kegagalan pembangunan di banyak negara dunia ketiga dalam dasawarsa 1960. media tradisonal secara pasti dan mantap mulai dikaji kembali pada dasawarsa 1960 di negara-negara sedang berkembang di Asia dan Afrika. Kemungkinan untuk memanfaatkan media ini secara resmi mulai ditelusuri. UNESCO pada tahun 1972 menyarankan penggunaan media tradisional secara terorganisasikan dan sistematik dapat menumbuhkan motivasi untuk kerja bersama masyarakat. Yang tujuan utamanya tidak hanya bersifat pengembangan sosial dan ekonomi, tetapi juga kultural (Ranganath, 1976)
Kemudian Ranganath (1976) menunjukkan peristiwa-peristiwa internasional yang menaruh perhatian pada pengembangan dan pendayagunaan media tradisional bagi pembangunan. Salah satu di antaranya ialah seminar yang dilaksanakan oleh East West Communication Institute di Hawai, yang menegaskan kembali bahwa strtegi komunikasi modern di negara-negara yang sedang berkembang akan mengalami kerugian besar, jika tidak didukung oleh media tradisional.


Peran Media Tradisional dalam Sistem Komunikasi
Media tradisional mempunyai nilai yang tinggi dalam sitem komunikasi karena memiliki posisi khusus dalam sistem suatu budaya. Kespesifikan tanda-tanda informasi yang dilontarkan dalam pertunjukkan-pertunjukkan tradisional itu maupun konteks kejadian, mengakibatkan orang-orang berasal dari sistem budaya lain sulit menyadari, memahami, dan menghayati ekspresi kesenian yang bersifat verbal, material, maupun musik yang ditampilkan (Compton, 1984).
Kesulitan tersebut berasal dari kerumitan untuk memahami tanda-tanda nonverbal yang ditampilkan, yang umumnya tidak kita sadari. Demikian juga dengan tidak memadainya latar belakang kita untuk memahami simbolisme religi dan mitologi yang hidup disuatu daerah, tempat pertunjukan tradisional itu terjadi.
Sebagian dari media rakyat ini, meskipun bersifat hiburan dapat juga membawa pesan-pesan pembangunan. Hal ini dapat terjadi karena media tersebut juga menjalankan fungsi pendidikan pada khalayaknya. Oleh karena itu, ia dapat digunakan untuk menyampaikan pengetahuan kepada khalayak(warga masyarakat). Ia dapat juga menanamkan dan mengukuhkan nilai-nilai budaya, norma sosial, dan falsafah sosial (Budidhisantosa, dalam Amri Jahi 1988).
Walaupun demikian, bertolak belakang dengan keoptimisan ini, para ahli memperingatkan bahwa tidak seluruh media tradisional cukup fleksibel untuk digunakan bagi maksud-maksud pembangunan. Karena memadukan yang lama dan yang baru tidak selamanya dapat dilakukan dengan baik. Kadang-kadang hal semacam ini malah merusak media itu, sehingga kita harus waspada (Dissanayake, 1977). Masalah-masalah dihadapi dalam penggunaan seni pertunjukkan tradisional untuk maksud pembangunan, sebanrnya ialah bagaimana menjaga agar media tersebut tidak mengalami kerusakan. Oleh karena pertunjukkan tradisional ini memadukan berbagai unsur kesenian yang bernilai tinggi, yang menuntut kecanggihan maka dukungan seni sangat penting dalam medesain pesan-pesan pembangunan yang akan disampaikan (Siswoyo, dalam Amri Jahi 1988).
Meskipun banyak kesulitan yang dihadapi dalam menyesuaikan penggunaan media tradisional bagi kepentingan pembangunan, riset menunjukkan bahwa hal itu masih mungkin dilakukan. Pesan-pesan pembangunan dapat disisipkan pada pertunjukkan-pertunjukkan yang mengandung percakapan, baik yang bersifat monolog maupun dialog, dan yang tidak secara kaku terikat pada alur cerita. Wayang misalnya, salah satu pertunjukkan tradisional yang terdapat di jawa, Bali, dan daerah-daerah lain di Indonesia, yang dapat dimanfaatkan sebagai media penerangan pembangunan. Pertunjukkan biasanya menampilkan episode-episode cerita kepahlawanan Hindu seperti Ramayana dan Mahabarata. Pertunjukkan wayang biasanya disampaikan dalam bahasa daera misalnya bahasa jawa, Sunda, atau Bali yang diiringi nyanyian dan musik yang spesifik. Bagi orang-orang tua yang masih tradisional, wayang lebih daripada sekedar hiburan. Mereka menganggap wayang sebagai perwujudan moral, sikap, dan kehidupan mistik yang sakral. Pertunjukkan tersebut selalu menekankan perjuangan yang baik melawan yang buruk. Biasanya yang baik setelah mkelalui perjuangabn yang panjang dan melelahkan akan mendapat kemenangan. Disamping itu moralitas wayang mengajarkan juga cara memperoleh pengetahuan, kedamaian pikiran, dan sikap positif yang diperlukan untuk mencapai kesempurnaan hidup.
Episode-episode cerita wayang cukup ketat. Namun, pesan-pesan pembangunan masih dapat disisipkan dalam dialog-dialog yang dilakukan. Banyak episode wayang yang dapat dipilih dan dipertunjukkan dalam kesempatan-kesempatan tertentu. Misalnya, untuk menumbuhkan semangat rakyat dalam perang kemerdekaan, mengisi kemerdekaan, integrasi bangsa, dan sebagainya. Pada zaman revolusi kemerdekaan Indonesia (1945-1949) Departemen Penerangan menciptakan wayang suluh untuk melancarkan kampanye perjuangan. Mereka menampilkan tokoh-tokoh kontemporer seperti petani, kepala desa, pejuang, serdadu Belanda, Presiden Sukarno, dan sebagainya. Wayang suluh ini, pada dasarnya, menceritakan perjuangan para pemimpin dan rakyat Indonesia menuju Kemerdekaa

MENINGKATKAN PERAN MEDIA TRADISIONAL

Harus disadari, 80% penduduk Indonesia tinggal di perdesaan dan hanya 20% yang tinggal di kota. Sayangnya, konsumsi media modern justru menunjukkan angka sebaliknya, 80% dikonsumsi oleh orang kota dan 20% sisanya oleh masyarakat desa. Ketidakimbangan mass media exposure di wilayah perdesaan ini tentu harus diimbangi dengan ketersediaan media komunikasi lain yang dapat dengan tepat menyentuh hajat komunikasi orang desa. Dan tidak bisa tidak, dalam kondisi seperti ini, penggunaan media tradisional adalah sebuah keniscayaan.

Media massa modern memang sering dinilai lebih “unggul”, karena lebih cepat dan memiliki kemampuan menaklukkan ruang dan waktu. Akan tetapi media jenis ini tidak bisa diterapkan secara efektif di kalangan masyarakat perdesaan karena adanya kendala aksesibilitas. Media cetak seperti koran dan majalah misalnya, terkendala kemampuan masyarakat untuk berlangganan. Media elektronik radio dan televisi, belum menjangkau seluruh wilayah perdesaan di Indonesia—selain memiliki sifat bawaan “selintas dengar/lihat” sehingga isinya mudah dilupakan publik. Sementara media baru yakni media online-interaktif, menghadapi kendala konektivitas karena biaya aksesnya relatif mahal dan ketersediaan infrastruktur pendukung belum berpihak pada kebutuhan masyarakat perdesaan.

Oleh karena itu, dalam menyebaran informasi di perdesaan, media modern harus dipergunakan secara terintegrasi dengan media tradisional. Dengan cara tersebut, kendala aksesibilitas yang muncul dalam penggunaan media modern dapat tertutup oleh penggunaan media tradisional. Sebaliknya, sifat media tradisional yang “lambat” dan “lokal” dapat ditutup oleh media modern yang lebih “cepat” dan “global”.

Berdasarkan konsep starting from people, penyebaran informasi di perdesaan akan berjalan lebih efektif jika menggunakan media yang dimiliki oleh masyarakat itu sendiri. Media yang memenuhi karakteristik tersebut, tak lain dan tak bukan, adalah media tradisional. Berbagai macam kesenian tradisional yang berkembang dan didukung keberadaannya oleh masyarakat, dalam hal ini dapat dipergunakan sebagai sarana pembantu penyebaran informasi yang cukup efektif.

Pertunjukan rakyat misalnya, dapat dipergunakan untuk mengarahkan perhatian masyarakat desa terhadap informasi tertentu yang akan disampaikan. Nyanyian, musik, cerita yang ada di dalamnya merupakan sarana yang sangat efektif untuk memfasilitasi proses berbagi pandangan dan menggugah perhatian masyarakat terhadap isu tertentu. Namun untuk mencapai efektivitas komunikasi secara keseluruhan tetap membutuhkan ‘bantuan’ dari media komunikasi lain secara integratif.

Tantangan yang dihadapi dalam menghadirkan media tradisional adalah bagaimana menempatkannya di antara konstelasi proses mediasi masyarakat. Hal ini penting, karena keberadaan media tradisional tidak dapat dilepaskan dari masyarakat/komunitas budaya pendukungnya. Tanpa adanya dukungan warga, keberadaan media tradisional tidak ada artinya.

Ciri dari setiap media tradisional adalah partisipasi warga, melalui keterlibatan fisik atau psikis. Media tradisional tidak hanya sebagai obyek hiburan (spectacle) dalam fungsi pragmatis untuk kepentingan sesaat, tetapi dimaksudkan untuk memelihara keberadaan dan identitas suatu masyarakat. Budaya tradisional pada hakkatnya berfungsi dalam memelihara solidaritas suatu masyarakat budaya, karenanya bersifat eksklusif. Setiap masyarakat budaya memiliki mitos yang khas yang menjadi perekat kelompok/komunitas.

Perlunya mengangkat suatu budaya tradisional sekaligus dengan media yang mengampunya, adalah untuk fungsi konservasi. Sementara untuk mengusung suatu media tradisional dalam dalam konteks lintas budaya, secara praktis hanya dapat dilakukan jika secara substansial budaya dan media dimaksud sudah mengalami transformasi sebagai spectacle. Dalam formatnya yang asli, media tradisional hanya relevan secara eksklusif bagi masyarakat budaya pendukungnya. Begitu pula pemanfaatan media tradisional sebagai wahana bagi isu-isu kontemporer bagi suatu masyarakat budaya pendukungnya, akan relevan manakala media tersebut sudah tidak lagi sebagai sumber mitos budaya tertentu.

Pertanyaan yang harus dijawab adalah, dalam konteks penyebaran informasi, sudahkah kesenian tradisional di Indonesia saat ini benar-benar diposisikan sebagai “media”, bukan sekadar sebagai spectacle? Pertanyaan ini sangat penting, karena dalam banyak kasus, sulit menempatkan dua fungsi (hiburan dan media penyebaran informasi) secara berimbang. Jika kesenian tradisional terlalu dipaksakan untuk berfungsi sebagai media penyebaran informasi aktual, maka ia akan kehilangan karakteristik utamanya sebagai sumber mitos bagi masyarakat. Sebaliknya, jika porsi hiburan terlalu banyak, maka fungsinya sebagai media penyebaran informasi dengan sendirinya akan menurun.

Pertanyaan lain yang tak kalah penting adalah, sudahkah media tradisional mentransformasikan diri sebagai spectacle yang bisa dinikmati masyarakat di luar komunitas pendukungnya? Seperti diketahui, salah satu kendala dari media tradisional adalah sifatnya yang eksklusif dan lingkupnya yang lokal, sehingga cenderung hanya bisa dinikmati oleh kalangan tertentu dalam jumlah yang terbatas. Karakteristik eksklusif semacam ini tentu kurang menguntungkan apabila ditinjau dari teori media, karena salah satu ciri dari media yang baik adalah kemampuannya menjangkau massa dalam jumlah besar.

 Oleh karena itu, tantangan ke depan adalah bagaimana mentrasformasikan media tradisional agar bisa menjadi general spectacle, tontonan yang bisa dinikmati dan diterima oleh masyarakat dalam jumlah lebih besar dan dalam wilayah teritorial yang lebih luas. Inovasi dalam hal ini bisa dilakukan, sepanjang tidak mendekonstruksi wujud dan karakter asli dari kesenian tradisional dimaksud. 

            Media massa modern
Seiring dengan berjalannya waktu dan perkembangan teknologi dan sosial budaya, telah berkembang media-media lain yang kemudian dikelompokkan ke dalam media massa seperti internet dan telepon selular. Dalam jenis media ini terdapat ciri-ciri seperti:
1.  Sumber dapat mentransmisikan pesannya kepada banyak penerima (melalui SMS atau internet misalnya)
2.  Isi pesan tidak hanya disediakan oleh lembaga atau organisasi namun juga oleh individual
3.  Tidak ada perantara, interaksi terjadi pada individu
4.  Komunikasi mengalir (berlangsung) ke dalam
5.  Penerima yang menentukan waktu interaksi.
keduanya saling terkait, sebab tanpa media tradisional, media modern tak akan pernah muncul. Sebaliknya, seiiring berjalannya waktu dan berkembangnya teknologi, tentulah masyarakat mulai beralih dari media tradisional menjadi media modern.
Beberapa contoh bentuk tampilan media baru yang kini hadir dan akan terus berkembang dan menjadi pesaing tangguh bagi media tradisional, pada massa moderen  diantarnya :
1.Media Buku
Kini lewat e-book, ratusan judul buku  dapat dimuat. Ini sangat memudahkan dan hemat. Kecenderungan masyarakt saat ini serta keterbatasan alam, membuat masyarakat terdorong untuk mengurangi kebutuhan akan kertas. Buku online ini menjadi salah satu jawaban yang pas untuk hal tersebut. Tidak hanya buku saja, kini banyak fitur-fitur pelengkap yang semakin memperkaya users saat menggunakan media online ini. Contoh fitur pelengkap itu adalah kamus interaktif, bookmarking, instan search, note-taking, cros referencing dan font adjustment
2.majalah (online)
majalah atau media online, seperti yang telah dijelaskan memiliki jangkauan cepat dan luas dengan interaksi yang sangat tinggi antara khalayak dan media. Kelebihan majalah online ini semakin diperkaya dengan sifatnya yang bebas waktu, mutahir karena dapat di update serta biaya distibusi yang sangat minim, bahkan pengaksesannya terkadang tanpa biaya. Ini dipengaruhi meningkatnya supply iklan di media online, karena integrasi iklan akan lebih tepat sasaran bila menggunakan media online. Kini pengiklan di media tradisional menurun dan beralih ke medai online. Hal ini disebabkan adanya kejelasan target beriklan di media online, contohnya saja lewat sistem pay-per-click.
Namun segala keuntungan dan kelebihan ini membawa tantangan yang baru dalam dunia etika dan hukum. Hadirnya berbagai fasilitas mendorong terjadinya demokrasi tanpa kontrol. Arus informasi yang melimpah pun tak selamanya dapat dipercaya, bahkan dapat disalahgunakan untuk menipu karena belum lengkapnya undang-undang yang menurusi urusan media baru ini.
Namun terlepas dari itu semua, mau tidak mau, perkembangan dalam teknologi komunikasi akan membawa masyarakat pada dunia media baru ini. Sekarang saja kebutuhan untuk itu sudah memperlihatkan akan bertambahnya kebutuhan yang lebih lagi terhadap teknologi komunikasi. Kini muncul visual culture, digital storytelling dan mungkin akan hadir bentuk teknologi komputer voice in dan voice out pada perangkat elektronik kita.  Hal ini disebabkan kerena pada umumnya ada kecenderungan semakin jarangnya generasi muda membaca surat kabar (media tradisional) dan lebih tertarik pada kebiasaan menonton, atau layanan teknologi komunikasi lainnya yang lebih praktis. Sekarang tinggal menunggu waktu saja, bahwa dunia kita akan didomiansi oleh media baru yang semakin canggih dalam pemanfaatan teknologi komunikasinya.


SEJARAH PERTUMBUHAN BUKU,MAJALAH,SURAT KABAR

1.SEJARAH BUKU
  Pada zaman kuno, tradisi komunikasi masih mengandalkan lisan. Penyampaian informasi, ceritacerita, nyanyian, doa-doa, maupun syair, disampaikan secara lisan dari mulut ke mulut. Karenanya, hafalan merupakan ciri yang menandai tradisi ini. Semakin banyak yang dihafal, orang merasa kewalahan dalam alias tidak mampu menghafalkannya lagi. Hingga, terpikirlah untuk menuangkannya Maka, lahirlah apa yang disebut sebagai buku kuno.  Buku kuno ketika itu, belum berupa tulisan yang tercetak di atas kertas modern seperti sekarang ini, melainkan tulisan-tulisan di atas keping-keping batu (prasasti) atau juga di atas kertas yang terbuat dari daun papyrus3. Mesir merupakan bangsa yang pertama mengenal tulisan yang disebut hieroglif4. Mereka menuliskannya di batu-batu atau pun di kertas papyrus. Kertas papyrus bertulisan dan berbentuk gulungan ini yang disebut sebagi bentuk awal buku atau buku kuno.
  Di Cina dan Jepang, perubahan bentuk buku gulungan menjadi buku berlipat yang diapit sampul berlangsung lebih cepat dan lebih sederhana. Bentuknya seperti lipatan-lipatan kain korden. Inilah bentuk awal dari buku yang berjilid. Buku-buku kuno itu semuanya ditulis tangan. Awalnya yang banyak diterbitkan adalah kitab suci, seperti Al-Qur’an yang dibuat dengan ditulis tangan. Di Indonesia sendiri, pada zaman dahulu, juga dikenal dengan buku kuno. buku kuno itu ditulis di atas daun lontar. Daun lontar yang sudah ditulisi itu lalu dijilid hingga membentuk sebuah buku. Perkembangan perbukuan mengalami perubahan signifikan dengan diciptakannya kertas yang sampai sekarang masih digunakan sebagai bahan baku penerbitan buku. Pencipta kertas yang memicu lahirnya era baru dunia perbukuan itu bernama Ts’ai Lun6. Penemuan Ts’ai Lun telah mengantarkan bangsa Cina mengalami kemajuan. Sehingga, pada abad kedua, Cina menjadi pengekspor kertas satu-satunya di dunia. Sebagai tindak lanjut penemuan kertas, penemuan mesin cetak pertama kali merupakan tahap perkembangan selanjutnya yang signifikan dari dunia perbukuan. Penemu mesin cetak itu berkebangsaan Jerman bernama Johanes Gensleich Zur Laden Zum Gutenberg. Gutenberg telah berhasil mengatasi kesulitan pembuatan buku  yang dibuat dengan ditulis tangan. Gutenberg menemukan cara pencetakan buku dengan huruf-huruf logam yang terpisah. Huruf-huruf itu bisa dibentuk menjadi kata atau kalimat. Selain itu, Gutenberg juga melengkapi ciptaannya dengan mesin cetak. Namun, tetap saja untuk menyelesaikan satu buah buku diperlukan waktu agak lama karena mesinnya kecil dan jumlah huruf yang digunakan terbatas. Kelebihannya, mesin Gutenberg mampu menggandakan cetakan dengan cepat dan jumlah yang banyak. Gutenberg memulai pembuatan mesin cetak pada abad ke-15. Teknik cetak yang ditemukan Gutenberg bertahan hingga abad ke-20 sebelum akhirnya ditemukan teknik cetak yang lebih sempurna, yakni pencetakan offset, yang ditemukan pada pertengahan abad ke-20.
Semua penemuan menakjubkan itu telah menjadikan buku sekarang ini mudah dicetak dengan sangat cepat, dijilid dengan sangat bagus, serta hasil cetakan dan desain yang sangat bagus pula. Tak mengherankan bila sekarang ini kita dapati berbagai buku terbit silih berganti dengan penampilan yang semakin menarik.


2.SEJARAH MAJALAH
  Definisi Majalah, beberapa ahli, mendefinisikan majalah sebagai kumpulan berita, artikel, cerita, iklan, dan sebagainya, yang dicetak dalam lembaran kertas ukuran kuarto atau folio dan dijilid dalam bentuk buku, serta diterbitkan secara berkala, seperti seminggu sekali, dua minggu sekali atau sebulan sekali. Ada pula yang membatasi pengertian majalah sebagai media cetak yang terbit secara berkala, tapi bukan terbit setiap hari. Media cetak itu haruslah bersampul, setidak-tidaknya punya wajah, dan dirancang secara khusus. Selain itu, media cetak itu dijilid atau sekurang-kurangnya memiliki sejumlah halaman tertentu. Bentuknya harus berformat tabloid, atau saku, atau format konvensional sebagaimana format majalah yang kita kenal selama ini.
  Menurut suatu literatur, majalah pertama terbit di Inggris tahun 1731 yaitu Gentleman Magazine. Majalah ini berisi berbagai topik tentang sastra, politik, biografi, dan kritisisme.Sepuluh tahun sesudahnya, muncul majalah pertama di Amerika Serikat. Namun sumber lain seperti Encyclopedia Americana menyebutkan, majalah dalam bentuk sebagai sisipan dari suratkabar sudah terbit sejak 1665 di Prancis, yakni Le Journal de savants. Majalah periodik ini berisi berita penting dari berbagai buku dan penulis, komentar seni, filsafat, dan iptek.Gentleman’s Magazine sendiri lebih pas disebut sebagai majalah umum pertama yang tampil lebih modern, dan bertahan cukup lama hingga 1901.
  Sejarah Perkembangan majalah di Indonesia sejarah keberadaan majalah sebagai media massa di Indonesia dimulai pada massa menjelang dan awal kemerdekaan Indonesia. Di Jakarta pada tahun 1945 terbit majalah bulanan dengan nama Pantja Raja pimpinan Markoem Djojohadisoeparto dengan prakarsa dari Ki Hadjar Dewantoro, sedang di Ternate pada bulan oktober 1945 Arnold Monoutu dan dr. Hassan Missouri menerbitkan majalah mingguan Menara Merdeka yang memuat berita-berita yang disiarkan radio republic Indonesia. Dikediri terbit majalah berbahasa Jawa Djojobojo, pimpinan Tadjib Ermadi. Para anggota Ikatan Pelajar Indonesia di Blitar menerbitkan majalah berbahasa jawa, Obor (Suluh). 1. Awal Kemerdekaan Soemanang, SH yang menerbitkan majalah Revue Indonesia, dalam salah satu edisinya pernah mengemukakan gagasan perlunya koordinasi penerbitan surat kabar, yang jumlahnya sudah mencapai ratusan. Semuanya terbit dengan satu tujuan, yakni menghancurkan sisa-sisa kekuasaan belanda, mengobarkan semangat perlawanan rakayat terhadap bahaya penjajahan, menempa persatuan nasional untuk keabadian kemerdekaan bangsa dan penegakan kedaulatan rakyat. 2. Zaman orde lama Pada masa ini, perkembangan majalah tidak begitu baik, kaena relatif sedikit majalah yang terbit. Sejarah mencatat majalah Star Weekly, serta majalah mingguan yang terbit di Bogor bernama Gledek, namun hanya berumur beberapa bulan saja. 4. Zaman orde baru Awal orde baru, banyak majalah yang terbit dan cukup beragam jenisnya, diantaranya di Jakarta terbit majalah Selecta pimpinan Sjamsudin Lubis,majalah sastra Horison pimpinan Mochtar Lubis, Panji Masyarakat dan majalah Kiblat. Hal ini terjadi sejalan dengan kondisi perekonomian bangsa Indonesia yang makin baik, serta tingkat pendidikan masyarakat yang makin maju. Kategorisasi majalah yang terbit pada masa orde baru.

3.SEJARAH SURAT KABAR
  Ide surat kabar sendiri sudah setua zaman Romawi kuno dimana setiap harinya, kejadian sehari-hari diterbitkan dalam bentuk gulungan yang disebut dengan “Acra Diurna”, yang terjemahan bebasnya adalah “Kegiatan hari”. Kemudian Setelah Gutenberg menemukan mesin cetak di abad ke-15, maka buku-bukupun mulai diterbitkan di Perancis dan Inggris, begitu pula halnya dengan surat kabar. Surat kabar pertama kali dibuat di Amerika Serikat, dengan nama “Public Occurrenses Both Foreign and Domestick” di tahun 1690. Surat kabar tersebut diusahakan oleh Benjamin Harris, seorang berkebangsaan Inggris. Akan tetapi baru saja terbit sekali, sudah dibredel. Bukan karena beritanya menentang pemerintah, tetapi cuma gara-gara dia tidak mempunyai izin terbit. Pihak kerajaan Inggris membuat peraturan bahwa usaha penerbitan harus mempunyai izin terbit, di mana hal ini didukung oleh pemerintah kolonial dan para pejabat agama. Mereka takut mesin-mesin cetak tersebut akan menyebarkan berita-berita yang dapat menggeser kekuasaan mereka kecuali bila usaha itu dikontrol ketat.
  PERKEMBANGAN SURAT KABAR DI INDONESIA surat kabar merupakan media massa yang paling tua dibandingkan dengan jenis media massa lainnya. Sejarah mencatat keberadaan surat kabardimulai sejak ditemukannya mesin cetak oleh Johann Guternberg di Jerman. Sedangkan keberadaan surat kabar di Indonesia ditandai dengan perjalanan panjang melalui lima periode yakni masa penjajahan Belanda, Penjajahan Jepang, menjelang kemerdekaan dan awal kemerdekaan, zaman orde baru serta orde baru 1. Zaman Belanda Pada tahun 1828 di Jakarta diterbitkan Javasche Courant yang isinya memuat berita-berita resmi pemerintahan, berita lelang dan berita kutipan dari harian-harian di Eropa. Sedangkan di Surabaya Soerabajash Advertentiebland terbit pada tahun 1835 yang kemudian namanya diganti menjadi Soerabajash Niews en Advertentiebland. Di semarang terbit Semarangsche Advertentiebland dan Semarangsche Courant. Di Padang surat kabar yang terbit adalah Soematra courant, Padang Handeslsbland dan Bentara Melajoe. Di Makassar (Ujung Pandang) terbit Celebe Courant dan Makassaarch Handelsbland. Surat-surat kabar yang terbit pada masa ini tidak mempunyai arti secara politis, karena lebih merupakan surat kabar periklanan. Tirasnya tidak lebih dari 1000-1200 eksemplar setiap kali terbit. Semua penerbit terkena peraturan, setiap penerbitan tidak boleh diedarkan sebelum diperiksa oleh penguasa setempat. Pada tahun 1885 di seluruh daerah yang dikuasai Belanda terdapat 16 surat kabar berbahasa Belanda, dan 12 surat kabar berbahasa melayu diantaranya adalah Bintang Barat, Hindia-Nederland, Dinihari, Bintang Djohar, Selompret Melayu dan Tjahaja Moelia, Pemberitaan Bahroe (Surabaya) dan surat kabar berbahasa jawa Bromartani yang terbit di Solo 2. Zaman Jepang Ketika Jepang datang ke Indonesia, surat kabar-surat kabar yang ada di Indonesia diambil alih pelanpelan. Beberapa surat kabar disatukan dengan alasan menghemat alat-alat tenaga. Tujuan sebenarnya adalah agar pemerintah Jepang dapat memperketat pengawasan terhadap isi surat kabar. Kantor berita Antara pun diambil alih dan diteruskan oleh kantor berita Yashima dan selanjutnya berada dibawah pusat pemberitaan Jepang, yakni Domei.Wartawan-wartawan Indonesia pada saat itu hanya bekerja sebagai pegawai, sedangkan yang diberi pengaruh serta kedudukan adalah wartawan yang sengaja didatangkan dari Jepang. Pada masa itu surat kabar hanya bersifat propaganda dan memuji-muji pemerintah dan tentara Jepang.
  Surat kabar yang diterbitkan oleh bangsa Indonesia pada saat itu merupakan tandingan dari surat kabar yang diterbitkan pemerintah Jepang. Surat kabar Berita Indonesia yang diprakarsai oleh Eddie Soeraedi ikut melakukan propaganda agar rakyat datang berbondong-bondong pada rapat raksasa di lapangan Ikada Jakarta tanggal 19 September 1945. Surat kabar perjuangan lainnya antara lain adalah Merdeka yang didirikan oelh B.M Diah, Harian Rakyat dengan pemimpin redaksi Samsudin Sutan Makmur dan Rinto Alwi, Soeara Indonesia pimpinan Manai Sophian di Makassar, Pedoman Harian yang berganti nama Soeara Merdeka di Bandung, Kedaulatan rakyat di Bukit tinggi, serta surat kabar Demokrasi dan Oetoesan Soematra di Padang. 4. Zaman Orde Lama Setelah presiden soekarno mengumumkan dekrit kembali ke UUD 1945 pada tanggal 5 Juli 1959, terdapat larangan kegiatan politik termasuk pers. Persyaratan mendapatkan (SIT) surat izin terbit dan surat izin cetak diperketat. Situasi seperti ini dimanfaatkan oleh Partai Komunis Indonesia (PKI) yang pada saat itu amat menaruh perhatian pada pers. PKI memanfaatkan para buruh, termasuk karyawan surat kabar untuk melakukan apa yang dinamakan slowdown strike, yakni mogok secara halus. Dalam hal ini karyawan dibagian setting memperlambat kerja sehingga banyak kolom surat kabar yang tidak terisi menjelang deadline (batas waktu cetak). Akhirnya kolom kosong itu diisi iklan gratis sebagaimana dialami oleh Soerabaja Post dan Harian Pedoman di Jakarta. Pada masa inlah sering terjadi polemic antara surat kabar yang pro PKI dan anti PKI 4. Zaman Orde Baru pertumbuhan pers yang marak di satu pihak cukup sangat menggembirakan, tapi di lain pihak perlu diwaspadai. Karena masih banyak surat kabar atau majalahyang terdorong oleh tujuan komersial ataupun motif lainnya menyajikan berita-berita sensasional tanpa adanya norma-norma kesusilaan, sopan santun, kerahasian Negara dan kurang memperhatikan akibat tulisan yang dapat menyebabkan disintegrasi rakyat.